Minggu, 10 Januari 2010

Cerpen dari Meisari / Etoser 2009

Perjuangan Seorang Wanita Bernama Ibu

Nak, cepat pulang.” Itulah kata terakhir yang didengarnya kemarin pagi. Tak seperti biasanya. Ganjil sekali dalam pendengaran gadis berumur delapan belas tahun. Singkat, namun syarat makna. Penuh dengan penafsiran.

Hari ini terasa lama sekali berlalu. Suara-suara itu terus menghantuiku. Mengikutiku ke mana pun aku pergi. Mengintimidasi. Pertanyaan-pertanyaan pun mulai bermunculan. Menambah ruwet pikiran ini. Syetan-syetan mulai berlomba-lomba membisikkan pikiran negative. “An, pasti ada sesuatu yang terjadi di rumahmu. Jangan-jangan ini menyangkut kakek, atau nenekmu. Bukankah, nenekmu sudah lebih dari lima tahun ini terserang stroke? Bukankah kakekmu akhir-akhir ini sakit-sakitan?” pandai sekali syetan satu ini. Memang benar apa yang dikatakan syetan itu. Kakek dan nenekku memang sekarang tak seperti dulu lagi. Kesehatan mereka semakin menurun. “An, inysa alloh tak ada apa-apa. Semua pasti baik-baik saja. Mungkin ibumu hanya kangen, bukankah sudah hamper dua bulan ini kau tak pernah pulang? Terlalu sibuk dengan urusan kuliahmu. Lebih baik sekarang sholat dhuha.”

Astaghfirulloh hal adzim. Ya, alloh maafkan aku yang telah berburuk sangka. Ya, aku sudah dua bulan ini tak pernah pulang untuk menengoknya.” Anna segera tersadar dari lamunannya. Bergegas ke kamar mandi. Mengambil wudhu kemudian sholat sunah dua rakaat. Ada ketenangan merasuk ke hatinya. Pikirn-pikiran negative itu perlahan hilang.

Ta, Sabtu pagi kamu di asrama ga? Tukeran masak ya, aku pulang. Sudah seminggu aku tak pulang, kasihan adekku. Kata ibu pengen ketemu.”

Ndak tahu aku. Kayanya aku juga pulang. Kan pembinaan diundur Ahad ba’da ashar.” Suara Tata seperti menusuk ulu hatiku. Bagaimana tidak. Ahad ba’da ashar, berarti aku tak bisa pulang. Ayah sudah mewanti-wanti agar aku pulang siang saja.

Lho, Ta kamu tahu dari siapa kalau pembinaan diundur, kan di jadwal jam 08.00 to?”

Tadi mba Zia di sms. Pembinaan jadinya ba’da ashar. Emang da apa to?”

Duh, piye ya. Aku akan rencana mau pulang besok Ahad ba’da pembinaan, biar sampai rumah ga kemaleman. Lah terus nek pembinaan diundur aku mah piye?”

Kenapa ndak pulang Senin pagi aja.”

Kayanya lebih ndak mungkin. Kamis kan monev, berarti saya balik sini Rabu. Cuma capek di jalan.”

Kenapa ndak besok pagi?”

Saya masih ada kuliah, pengganti 28. Lagian saya berarti bolos 3 pembinaan plus ketemu sama mas Hari, ya kan? Ya, Alloh, aku bener-bener bingung.”

Obrolan itu tak menemukan titik temu yang jelas. Dan yang jelas aku bagai buah si malakama. Pulang Kamis dengan resiko bolos 3 pembinaan plus-plus. Pulang Senin, Rabu sudah harus balik sini lagi. Sebuah permasalahan sederhana-namun pelik- sebenarnya. Hanya soal bagaimana kita bias memprioritaskan sesuatu yang penting di atas kepentingan lain. Mungkin seharusnya aku bisa mempraktikan teori itu. Mana yang penting mendesak. Mana yang penting api tak mendesak. Mana yang tak penting tapi mendesak. Dan mana yang tak penting sekaligus tak mendesak. Tapi sungguh, dalam keadaan seperti ini, teori itu tak berlaku lagi. Keduanya penting dan juga mendesak. Berat rasanya mengorbankan salah satu. Bagaimanalah, aku harus memilih satu dari itu. “Bukan ku korbankan, tapi dikalahkan.” Begitulah aku menghibur diriku. Bisa atau tidak, aku harus tetap pulang. Di sana, nan jauh di ujung selatan di dekat pantai, seorang wanita yang sudah tak bisa dibilang muda sedang menantikan kepulanganku. Seorang wanita yang selama delapan belas tahun ini selalu setia menemaniku. Selalu mengerti keadaanku. Mendidik dan merawatku dengan sepenuh hatinya. Tak ada keluh kesah dan ada imbalan diharapkan. Dialah wanita termulia dalam hidupku. Wanita yang air susunya telah menghidupiku. Mengajariku arti memberi dan berkorban. Dialah ibuku.

Kembali ke masalah semula. Masalah itu tambah runyam gara-gara syetan ikut campur. Menyuplai pikiran negative yang ternyata cukup efektif.

Mba, pembinaan ga jadi jam 08.00?”

Ya, dek. Mba juga bingung. Lah terus Anna gimana, jadi pulang kapan?”

Aku juga bingung. Kamis masih ada kuliah. Kalau Senin, berarti saya di rumah sehari. Rabu dah balik sini lagi. Tapi, yang pasti aku harus pulang. Ga tahu, kemarin ibu telepon. Ga seperti biasanya, ibu bilang aku harus pulang. Kakek di rumah sakit.”

Ya, Anna pasti pulang. Nanti tak coba ngomong apa ga bisa sesuai jadwal semula”.

Obrolan itu pun sepertinya tak memberikan hasil yang jelas. Sama seperti sebelumnya. Pun tentang perasaanku. Masih saja semrawut. “Pasti ada sesuatu di rumah. Ga mungkin ibu menyuruhku pulang jika tak ada sesuatu yang penting dan mendesak.” Batinku terus bergejolak. Bayangan ibu yang sudah semakin bertambah usianya melintas dalam benakku. Juga tentang kakek yang selalu membannggakanku. Yang kata ayah, kini tergolek tak berdaya di salah satu kamar di rumah sakit.

Malam itu ku putuskan untuk beraktivitas lain. Mencoba mengalihkan perhatian. Sedikit menghibur diri. Ku ambil buku “Berpikir dan berjiwa besar” karya David J. Schwartz. Ku baca lembar demi lembar. Tenggelam dalam bius kata-katanya yang menakjubkan. Penuh inspirasi. Namun, belum habis sepuluh halaman, pikiran itu kembali melintas. “An, jadi pulang kan hari ini?” pertanyaan ibu kembali terngiang. Ku paksakan membaca lagi. Dua-tiga halaman berikutnya. Namun, kali ini tak ada yang masuk. Otakku tak bisa mencernanya. Semakin keras aku memaksa, semakin keras pula otakku menolaknya. Aku frustasi. Ku tutup buku itu. Lalu beranjak mengambil selimut. Tidur. Itulah solusi yang ku ambil. Percuma memaksakan sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginanmu. Namun, ternyata dalam tidurpun tak bisa nyenyak. Pikiran itu terus membuntutiku sampai ke alam tidur.

Adzan shubuh bergema bersahut-sahutan. Semua makhluk terjaga dari tidurnya. Bersiap menghadap yang kuasa. Tak terkecuali seisi asramaku. Bahkan aktivitas sudah dimulai ketika malam baru saja melewati tengahnya, dini hari. Aktivitas pagi itu berlanjut sampai pukul 06.00, molor satu jam dari jadwal biasanya. Mubes asrama. Sekaligus penjelasan resmi mengenai hal yang selalu mengganggu pikiranku. “Pembinaan resmi diundur ba’da ashar.” Sakit sekali ulu hatiku. Padahal, jika sedikit saja logika ini bisa berjalan, justru kabar itu adalah kabar baik. Artinya aku bisa pulang hari ini. Tapi, inilah akibat dari hati yang telah terbutakan oleh pikiran-pikiran negative itu.

Bulir-bulir Kristal bening, tak sanggup lagi ku tahan. Mengalir perlahan. Hangat. Mengalir di pipi. Awalnya hanya satu. Dalam sepersekian detik, puluhan bulir itu berebut menjamah pipi, berlomba-lomba. Membentuk aliran yang tak lagi beraturan. Mengaburkan pandangan. Yang terlintas kekecewaan ibu kepadaku. Sebab, ini adalah kali kedua aku menunda kepulanganku.

Lascar pelangi tak kan terikat waktu

Jangan beerhenti mewarnai jutaan mimpi di bumi

Menarilah dan terus tertawa

Walau dunia tak seindah surga

Bersukurlah pada yang kuasa

Cinta kita di dunia selamanya

Laskar Pelangi mengalun pelan dari hpku. Telepon. Aku bergegas mengangkatnya. Dari rumah.

Assalamualaikum.”

Waaliakumsalam. Gimana kabarmu, An?”

Alhamdulilah bu, Anna sehat. Ibu dan keluarga lain juga sehat kan?”

Alhamdulillah juga nak, semua sehat. Anna jadi pulang besok jumat?” suara ibu terdengar menggantung. Penuh harapan.

E, kayanya ndak jadi bu, Anna ada acara. Paling baru bisa pulang jumat depan. Ada apa to bu?” berat sekali sebenarnya menyampaikan kabar ini. Sebab, sewaktu aku pulang satu setengnah bulan yang lalu, aku sudah memastikan akan pulang tanggal 18. Namun, acara mendadak itu juga penting dan mendesak.

Ndak ada apa-apa. Tapi, kalau ada kesempatan pulang, pulanglah.”

Ya, bu. Insya alloh tanggal 24 Anna pasti pulang.” Janji itu ke luar begitu saja. Ada rasa bersalah juga. Lihatlah, orang yang selama ini aku sering melupakannya, tetap setia menungguku pulang. Sekedar bertemu, melepas kerinduan.

Gimana kabar kuliahmu?”

sejauh ini berjalan dengan baik bu. Tapi, yang melelahkan, jadwalnya. Kadang masuk pagi, terus kosong, siang baru ada kuliah lagi.”

Yang sabar nak, ini semua kan untuk kebaikanmu. Jangan lupa belajar yang rajin.”

Ya, bu.”

Ya sudah, ibu mau ke sawah dulu sudah siang. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

Tut. Tut. Tut.

Telepon ditutup. Kilatan kekecewaan kini jelas ku tangkap. Tak seperti biasanya, ibu hanya ngobrol sebentar di telepon. Biasanya ada saja hal yang diobrolkan. Mulai dari kabar tetangga sampai teman-temanku yang masih di rumah. Semua tak luput disampaikan ibu. Jadi, walaupun aku tak di rumah, namun soal berita aku selalu up to date.

Dan kini penyesalanku semakin dalam. Bukan apa-apa memang. Aku seharusnya pulang tanggal 18 kemarin. Berhubung ada acara aku membatalkannya. Perkara sederhana. Menunda kepulangan. Tapi, ternyata, tidak bagi ibuku. Menunda kepulangan adalah hal yang rumit.

Lascar pelangi tak kan terikat waktu

Jangan beerhenti mewarnai jutaan mimpi di bumi

Menarilah dan terus tertawa

Hpku berbunyi. Di layar tertulis mom.

Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam. An, jadi pulang hari ini kan?” tanpa basa-basi. Pertnyaan itu mengintimidasiku. Langsung ke pusat masalah. Hatiku getir.

Bu, kayanya Anna pulang ahad siang dari sini. Ahad pagi ada acara. Daripada Anna capek di perjalanan, mending pulangnya setelah acara saja.” Tak sampai hati aku mengucapkannya.

Acara lagi? Kenapa acaranya selalu pas kamu mau pulang? Kamu sudah ndak pulang dua bulan An, besok nek ada acara izin saja ga bisa ikut, masa ndak boleh?” suara ibu terdengar memaksa. Namun, aku tahu, semua ini semata-mata karena ibu sungguh sayang padaku. Naluri keibuannya muncul.

Ya, bu Anna pasti pulang kali ini. Kalaupun Anna pulang juga ndak bisa hari ini. Anna ngampus sampai sore. Besok pagi juga masih ngampus.” Ku coba memberi penjelasan sebaik mungkin. Aku takut ibu tersinggung. Aku tak mau lagi melukai perasaan orang yang paling ku sayangi.

Ya sudah, tapi besok ndak boleh mundur lagi. Kakekmu dirawat di puskesmas.”

Di puskesmas? Sakit apa bu?”

Biasa, makanya kamu cepet pulang, jangan ditunda-tunda lagi.”

An, sudah dulu ya, pekerjaan ibu masih menumpuk. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

Seperti sebelumnya, telepon ditutup karena ibu tak menemui titik terang. Kecewa pastinya. “Namun, apa maksud ibu mengatakan kalau kakek sakit? Apalagi ibu mengatakannya ketika aku mengatakan tak jadi pulang? Apa lagi yang dirahasiakan ibu dan orang rumah dariku?” batinku.

Tiga puluh menit berselang. Hp ku kembali berbunyi. Mom. Ada apa lagi?

Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

Bapak? Ada apa Pak?”

Kamu jadi pulang sekarang?”

E, kayanya ga jadi pak, paling besok ahad siang. Tanggung ahad pagi ada acara.”

Bapak baru pulang lho dari puskesmas.”

Oh, ya pak. Kata ibu kakek di puskesmas, sejak kapan pak?”

Kemarin senin malam jam satu. Makanya kamu kalau ada waktu sempatkan pulang. Ya, sudah. Bapak mau kerja dulu, dah siang. Assalmualaikum.”

Waalaikumsalam.”

Kalimat terakhir bapak semakin membuatku bingung. Ada apa sebenarnya di rumah. Kenapa semua orang memintaku pulang. Bayang-bayang orang yang ku sayangi satu per satu berkelebat. Membuatku semakin meras bersalah. Dua bulan sudah aku tak pulang. Dan dua kali ini aku menunda kepulanganku.

Assalamualaikum

Pak, kata mba Zia pembinaan ahad bsk d undur jd ba’da ashar, pa bener? Pa g bs sesuai jdwl, sy mo pulkam. Kakek skt.

Pesan terkirim. Hatiku sedikit lega. Namun, sejam berselang tak ada balasan. Aku mulai resah. Tak biasanya, jangan-jangan aku tak diizinkan pulang. Dua jam di kampus, hanya sedikit yang bisa ku tangkap. Pikiranku tertuju pada rumah dan hp. Menunggu balasan akan kejelasan nasibku.

Jam kampus menunjukkan pukul 11.25 ketika sms itu datang.

Assalamualaikum

Afwan saya mikirnya lama. pa Anna ga bsa pulkam snin j?

***

Waalaikumsalam

kyY g bsa pak, kn sy rbu hrs dah blik sni lgi. Sy klau pulkam 4-5 jam, cpek d prjlanan trus sy berarti bls 3 pembinaan.

***

Mndngan Anna pulkam skrang sj gmn? Mnt izn mba Zia, insya alloh bleh kok.

Ya, kejelasan itu akhirnya datang juga. Aku segera pulang ke asrama. Tak sabar ingin segera pulang.

Assalamualaikum. Mba Zia, aku pulang sekarang. Mba udah sholat belum? Sholat yuk, biar aku ga kemaleman sampai rumah.” Kebahagiaan itu tak bisa ku sembunyikan. Rusuh sekali. Seperti anak kecil yang dijanjikan dapat hadiah pada saat pembagian raport.

Ya, dek. Mau pulang sama siapa?”

Sendiri mba. Ayo cepet sholat, aku juga belum packing.”

Air mata meleleh saat sholat. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira. Nikmat sekali sholat kali ini. Selesai sholat aku langsung bergegas packing. Menyiapkan semua yang akan dibawa pulang. Memasukkan buku sekenanya saja ke dalam tas.

Ti, tolong ya antarkan aku ke kampus. Aku naik angkot dari sana saja, biar cepat.”

Semua orang bingung melihat tingkahku. Rusuh, teriak-teriak.

Ti, cepat. Aku ingin cepat sampai rumah.”

Dalam hitungan menit aku sudah berada di dalam angkot. Pelan sekali rasanya, slow motion. Pikiranku semrawut. Ada kekhawatiran menyelinap. Aku pulang memberi kejutan. Atau justru aku yang akan mendapat kejutan di rumah? Ya, Alloh, mudahkan perjalanan pulangku. Ibu, aku pulang. Bis yang ku tumpangi seolah tak bergerak, lamban sekali. Padahal, pikiranku sudah jauh menerawang ke rumah. Bagaimana ekspresi ibu melihatku pulang. Padahal baru tadi pagi aku mengatakan tak jadi pulang. Semoga bukan aku yang akan mendapat kejutan dari rumah.

Pukul 17.28 aku turun dari angkot yang membawaku pulang. Berjalan 100 meter, ku lihat rumahku. Semua masih sama seperti dua bulan lalu. Sepuluh meter di depan rumah, ku lihat ibu tersenyum di depan pintu. Senyum tulus seorang ibu. Ku jabat tangannya dan ku cium. Tangan kasar dan juga tak selembut dulu. Kini sudah mulai keriput, usia telah memakannya.

Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam, katanya ndak jadi pulang?”

Acaranya diundur bu, jadi ahad sore. Tadi juga mendadak, dari kampus.”

Semua mengalir begitu saja. Melepas rindu yang selama dua bulan ini harus ditahan. Rindu seorang ibu yang tak pernah terkatakan. Rindu yang hanya bisa diungkapkan dengan gesture tubuh wanita itu. Rindu yang akan selalu membuatku rindu akan wanita itu. Wanita yang dengan seluruh hidupnya tulus ia abdikan untukku, juga untuk kebaikanku. Kebaikan yang tak pernah mengharap imbalan.

Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa

Hanya member tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia

Sungguh benar semua lirik lagu “kasih ibu”. Meskipun sering terlupakan, tak pernah sedikitpun ia melupakan kita. Tak hentinya berdoa dalam setiap sujudnya untuk kebaikan kita. Semoga Alloh yang akan membalas semua pengorbanan ibu kita. Untuk para ibu, selamat hari ibu. Dan untuk para anak, jangan pernah kecewakan ibu kalian. Orang yang air susunya telah menghidupi kalian, menjadi darah daging dalam diri kalian.

Selasa, 05 Januari 2010

Puisi Bulan Januari

Menjadi akar
meski berada dibawah tanah
ternyata tidaklah mudah
karena ia rela tidak terlihat
berada tersembunyi dalam kegelapan bersama tanah
karena ia tidak pernah bosan menyangga batang-batangnya
menjulang ke langit
karena ia tidak pernah kelelahan mengalirkan sari air ke batang-batangnya
hingga memberikan buah yang lezat
kaarena ia tidak pernah berhenti untuk mengajarkan
hakikat keikhlasan sejati
yang tidak perlu terlihat
tidak perlu dipuji
tapi dengan tulus melakukan tugasnya
perjuangan ini selalu berawal tapi tak pernah ada akhir.....dari seorang sahabat


kita akan tetap di sini,
walau panas menyapa tapak,
berat membeban pundak
perih menutup pandangan.
kita bakan terus melangkah
hingga kelak akan terjawab...

mengapa dakwah ini begitu terasa pahit???
karena jannah itu terlampau manis...